Filsafat Modern



RENE DESCARTES PENEMU METODE COGITO
Tema: Filsafat Modern
Secara historis, pada abad pertengahan pemikiran filsafat dikuasai oleh iman sebagimana dijelaskan oleh Plotinus bahwa tuhan itu mewakili metafisik bukan untuk dipahami melainkan dirasakan. Yang tergambar dalam ungkapanya credo ut intelligam. Jadi, dalam berfilsafat rasa itu satu-satunya pedoman hidup manusia dan dituntun oleh kitab suci. Dan diikat oleh  dua kekuasaan ialah kekuasaan agama dengan gerejanya serta raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolute.[1]
Dalam hal ini filsafat rasio kalah dan siapa saja yang masih menganut filsafat rasio atau akal harus dimusuhi dan dimusnahkan. Maka dari itu metode cogito yang di kemukan Descartes membuka atau membebaskan berfikir dengan akal atau rasio dari belenggu gereja.Bertahun-tahun filsafat dikuasai oleh tokoh-tokoh gereja. Banyak yang tidak senang terhadap perilaku tokoh-tokoh gereja tersebut, banyak orang-orang yang berfikir kreatif dimusnakan karena menentang tokoh gereja. Padahal sebelum itu manusia sudah menunjukan bahwa mampu untuk maju dengan cepat dengan rasio mereka.
Mereka ingin mengakhiri semuanya, tapi apa daya mereka terlalu takut untuk menyampaikan argument-argument yang bersifat rasionalisme mereka, takut. Sekalipun demikian, ada juga pemberani yang melawan arus atau melawan tokoh-tokoh gereja. Ialah Descartes yang mampu memberanikan diri menyampaikan argumentnya, argument yang terkenal dari dia ialah cogito yang beraliran rasionalismenya dengan dasar-dasarnya yang kuat, dan menyimpulkan dasar filsafat dengan akal. Descartes menganggap tokoh gereja mengatas namakan agama, yang mana dalam hal itu filsafat berkembang dengan lamban.
Ibarat bendungan jebol muncul berbagai filosof rasionalisme yang akal mereka seakan bebas dari belenggu penjara, terus apa itu rasionalisme itu?. Begitu juga kita ketahui tokoh pertama yang berani melawan tokoh-tokoh gereja adalah Descartes, lalu siapasih Descartes tersebut? Dan bagaimana pemikiran Descartes?.
Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan, maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh melalui berfikir. Alat dalam berfikir itu adalah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika. Rasio dianggap sebagai kekuatan yang dimiliki oleh manusia untuk memahami realitas, untuk membangun ilmu pengetahuan, dan teknologi, moralitas; untuk menentukan arah hidup dan perkembangan sejarah, untuk memecahkan persoalan-persoalan ekonomi, untuk mengendalikan sosial, politik, budaya dan seterusnya. Rasio, dapat disimpulkan sebagi kekuatan manusia untuk merubah segala sesuatu yang ada.
Seperti halnya pernyataan Hagel bahwa “bahwa apa yang nyata (real) itu rasional dan apa yang rasional itu nyata (real)”, sehingga dengan mengandalkan rasio dapat mengetahui realitas yang sederhana hingga yang paling komples. Ada pula teori Max Weber, yang menekankan pada rasionalitas dalam pembangunan dan teknologi manusiawi (“rasionalitas pembangunan” dan “rasionalitas tujuan”).[2]
Ada dua macam rasionalisme yaitu:
a.         Dalam bidang agama digunakan untuk mengkritik ajaran agama yang menurut meraka tidak lah masuk akal.
b.        Dalam bidang filsafat bahwa bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal.[3]
Descartes adalah salah satu tokoh besar atau bapak filsafat modern, yang berani dan melawan dari kekangan filosofi dari gereja di abad pertengahan.  Pendapat itu di aminni oleh Bertrand russel, menurutnya Descartes orang yang pertama pada abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan iman, bukan ayat suci, bukan yang lain.
Descartes lahir tahun 1596 dan meninggal tahun 1650, argument yang paling dikenal dari dia adalah icigoto (keraguan Descartes). Ia mengetahui bahwa menyakinkan pihak gereja bahwa dasar filosofi adalah rasio (akal), tokoh gereja tetap yakin bahwa filosofi adalah iman sebagai mana di dalam ajaran mereka. Untuk itu ia harus menemukan dasar yang kuat bagi filsafat, Descartes menuangkan dasar filsfatnya dalam cogito.[4]
Dalam metode cogito ini dia meragukan lebih dulu segala sesuatu yang dapat diragukan. Mula-mula ia mencoba meragukan semua yang dapat diindrakan, obyek yang sebenarnya tidak mungkin diraguakan. Inilah  pertama langkah metode cogito, keraguan itu mungkin karena pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan juga pengalaman dengan roh halus ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Dalam keadaan itu seorang dapat seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya. Di dalam mimpi seolah-olah seorang mengalami sesuatu sesungguhnya terjadi. Dia mengatakan “aku meragukan bahwa aku duduk disini dalam pakian siap untuk pergi; ya aku dapat meragukan itu karena terkadang-kadang aku bermimpi presis seperti itu, padahal aku ada di tempat tidur, sedang bermimpi”, siapa yang dapat menjamin kejadian-kejadian yang sedang terjaga sebagaimana yang kita alami sebenarnya bukan mimpi? Tidak ada perbedaan yang jelas antara mimpi dan jaga.
Dalam memperjelas metodenya Descartes mendefinisikan sebagai berikut:
1.      Tidak menerima suatu apa pun sebagai kebenaran, kecuali apabila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkan.
2.      Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak mungkin bagian dari sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkan.
3.      Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4.      Dalam proses pencarian dan penelaahan hal-hal sulit, harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang terabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.[5]
 Menurut Descartes aku yang sedang ragu itu disebabkan oleh aku berfikir. Kalau begitu aku berfikir pasti ada dan benar. Cogito ergo sum aku berfikir maka aku ada, berarti aku ada sebab aku berfikir itu aku[6]. Fondasi itu ialah aku berfikir. Pemikiranku itulah yang di jadikan dasar filsafat karena aku yang berfikir itulah yang benar-benar ada, tidak diragukan, bukan kamu atau pikiranmu. Metode ini bukan mempertahankan keraguan, melainkan berangkat dari keraguan menuju kepastian. Keraguan itu ditunjukan untuk menjelaskan perbedaan sesuatau yang dapat diragukan terhadap sesuatau yang tidak dapat diragukan. Dan akal itulah basis yang paling terpercaya dalam berfilsafat, akal tersebutlah yang menjadi bangunan dari metodenya.
Rasionalisme berfikir dengan akal, bagaimana jika dalam berfikir tidak hanya menggunakan akal saja melainkan dengan mempertimbangkan dari beberapa segi salah satunya agama yang mana antara rasio (akal) dan rasa/ iman haruslah ballance antara keduanya, dalam berfikir boleh saja bebas tanpa batas tapi juga ingat jangan hanya melihat dari rasio saja melainkan bagaimana pandangan dari agama itu benar atau tidak, supaya tidak terjebak dalam fikiran sendiri tanpa ada dasar yang kuat di dalamnya.
 Rasioanalisme boleh saja melainkan harus didasari dengan dasar yang kuat tanpa harus meninggalkan iman di dalamnya, apalagi lagi berfikir dengan rasio untuk memajukan dan membangun sebuah peradapan yang lebih baik. Yang mana dalam akal itu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dengan iman kita mengembangkan keagamaan, apalagi bila keduanya berjalan seiringan tanpa ada yang berat disatu sisinya maka kehidupan pun akan terasa damai dan tentram, apabila rasio tanpa iman bagaikan berfikir tanpa arah dan tujuan, dan munkin tujuannya pun satu untuk dirinya sendiri tanpa melihat disekelilingnya, dan iman tanpa rasio seperti mempelajari agama tanpa pemahaman dengan akal bisa saja malah menyimpang dan salah dalam beribadah. Rasio bukan untuk menentang agama yang ajaranya bertentangan dengan akal tapi membuat ajaran yang tidak masuk akal itu untuk dibuktikan bahwa ajaran itu bisa dirasiokan dan benar sehingga sejalan dengan rasio kita.
Di modern ini haruslah menyeimbangkan antara rasio dan iman karena dimana banyak contoh yang mengunakan rasio tanpa menggunakan iman yang mengakibatkan timbulnya golongan yang salah yang menganggap rasio adalah diatas segalanya yang mana mereka mendiskriminasi atas satu golongan yang memiliki iman dan kepercayaan yang tidak sejalan dengan rasio mereka. Begitu juga sebaliknya iman tanpa rasio banyak agama yang disalah artikan untuk kepentingan pribadinya dengan mengatas namakan agama. Jadi, seharusnya menyeimbangkan atara keduanya sehingga dapat memiliki prinsip yang kuat dalam memanfaatkan antara rasio dan iman dalam kehidupan ini.
Dalam metode Descartes yang meragukan apa yang bisa diragukan, dalam metode itu dia ingin lepas dan bebas berfikir tanpa dibatasi oleh tokoh gereja. Seharusnya dalam berfikir tidak dibatasi apaun tapi juga harus memiliki dasar yang kuat dan rasa yang baik sehingga dapat dipertanggung jawabkan, dengan kata lain “berfikir bebas tapi bisa ditanggung jawabkan” artinya boleh saja berfikir dengan akal atau rasio sebebas apaun tapi apa yang difikirkan pasti akan dipertanyakan dan butuh pertanggungjawaban. Dalam hal ini buah dari fikiran itu akan dipertimbangkan apakah baik dan buruk dalam masyarakat atau agama itu bahkan lebih baik disisi dan disisi lain itu buruk. bukankah seharusnya rasio dan iman itu berjalan seiringan dan berkembang dan saling mendukung antara satu sama lain, bukan malah saling menjatuhkan.
Dalam berfikir memang salah satunya berawal dari cogito atau keraguan dimana dalam keraguan itu di tuntut untuk berfikir gimana untuk menyakiankan dan mengalahkan keraguan itu. Yang mana dalam berfikir pasti berusaha untuk mencari tahu, dalam perjalana seseorang mencari tahu tanpa sadar seseorang itu juga akan medapatkan ilmu baru yang munkin menyimpang dari keraguan yang dialami. Bukan hanya berfikir saja di era modern ini, meliankan juga harus memiliki aksi dimana dalam berfikir haruslah mewujudkan nya atau merealisasikan (membuat nyatanya), jangan hanya berfikir tanpa ada tujuan yang pasti. Tapi juga diingat dalam mewujudkannya hasil pemikiran itu perlu adanya pertimbangan apakah baik dalam segi apapun dan juga harus meminta saran dan kritikan apakah hasil pemikiran itu sudah baik tanpa ada refisi lagi. Itu pun haruslah meminta pada orang yang tepat sehingga tidak terjadi apa yang tidak diinginkan.
Dalam memecahkan sebuah cogito (keraguan) jangan hanya mengandalkan rasio tanpa mempertimbangkan dari segi rasa dan iman. Sehingga seakan tidak lagi melahirkan peradapan Yunani lagi, dimana rasio lah yang di unggulkan tanpa melihat iman dimana atheisme pun bermunculan yang mana antara rasio dan iman terpisah yang seharusnya berjalan beriringan. Bukan rasionalitas tujuannya, melainkan rasio (akal) dan iman menjadi dasar berfikir seseorang, yang mana saling melengkapi satu sama lain. Karena dasar berfikir adalah rasio dan iman dalam merealisaskan sebuah hasil pemikiran pastilah melihat dari segi manapun sehingga hasil pemikirannya baik dalam segi apapun, maka tidak melenceng kearah yang tidak baik.
Cogito(keraguan) bisa dipecahkan dan diyakinkan oleh diri sendiri yang mana manusia itu mengambil refrerensi dari mana saja untuk menjawab keraguannya. Yang kemudian dikembangkan dengan akal atau rasio manusia dan dibandingkan dengan rasa atau keimanan dalam hati maka tercipta sebuah hasil pemikiran yang akan menjawab semua keraguan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa filsafat modern dasar berfikir dengan rasio atau menganut rasionalisme, rasio atau akal menjadi dasar berfikir mereka, karena mereka menganggap rasio adalah kekuatan yang dimiliki oleh manusia untuk membangun ilmu pengetahuan, dan teknologi, serta untuk menentukan arah hidup dan perkembangan sejarah; untuk memecahkan persoalan-persoalan ekonomi; untuk mengendalikan sosial, politik, budaya dan seterusnya. Tokoh pertama filsafat modern ialah Rene Descartes yang mencetuskan metodenya cogito, dimana dalam metode itu Descrates meragukan semua apa yang bisa di ragukan olehnya, sehingga dalam metode itu dia mampu menyakinkan tokoh-tokoh gereja.sehingga membebaskan para filosof rasionalisme yang awalnya takut mengungkapkan pemikirannya, sehingga berani mengungkapkannya.


[1] Drs. Ayi Sofyan, M.Si. kapita selekta filsafat, 2010; CV Pustaka Setia: Bandung:61
[2] Abidin, Zainal, Filsafat Manusia. Bandung: PT. Remaja Rodakarya, 2002: 238-2039
[3] Ahmad tafsir, Filsafat Umum .Bandung: PT. Remaja Rodakarya, 2000: 114
[4]  Abidin, zainal. ibid:240
[5] Drs. Ayi Sofyan, M.Si. ibid: 71
[6] Drs. Ayi Sofyan M,Si. Ibid 213
DAFTAR  PUSTAKA

Abidin, Zainal. Filsafat Manusia. Bandung: PT. Remaja Rodakarya, 2002.
Sofyan, Ayi. Kapita Selekta Filsafat. CV Pustaka Setia: Bandung, 2010.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum .Bandung: PT. Remaja Rodakarya, 2000.

Komentar