prinsip kehati-hatian dalam perbankan syariah



A.    Pengertian Prinsip Kehati-hatian
Kehati-hatian berasal dari kata “hati-hati” (prudent) yang erat kaitannya dengan fungsi pengawasan bank dan manajement bank. Prudent juga dapat diterjemahkan dengan bijaksana, namun dalam dunia perbankan istilah itu digunakan dan diterjemahkan dengan hati-hati atau kehati-hatian (prudential).[1]
Jadi, prinsip kehati-hatian perbankan (prudent banking principle) merupakan suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa bank atau lembaga dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dengan mengenal customer dalam rangka untuk melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya, dengan mengharapkan kadar keperayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan tetap tinggi, sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank.

B.     Pengaturan Prinsip Kehati-hatian dalam Undang-Undang Perbankan
Prinsip kehati-hatian dalam sistem perbankan digunakan sebagai perlindungan secara tidak langsung oleh pihak bank terhadap kepentingan-kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya di bank. Prinsip ini digunakan untuk mencegah timbulnya risiko-risiko kerugian dari suatu kebijakan dan kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank. Prinsip ini telah dinormatifkan dalam peraturan perbankan di Indonesia misalnya dalam UU No. 7 Tahun 1992 yang sudah dirubah dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menegakan: “Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”.[2]
Penerapan prinsip kehati-hatian juga diatur dalam Undang-undang Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008 pasal 35 yaitu:
1.      Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.
2.      Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
3.      Neraca dan Perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik.
4.      Bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban sebagaimana diaksud pada ayat 3 bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.[3]

C.    Analisis Kelayakan Penyaluran Dana
Pada Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, mewajibkan pula Bank Umum Syariah untuk memiliki dan menerapkan pedoman pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pedoman analisis kelayakan penyaluran dana perbankan syariah didasarkan kepada penilaian yang saksama terhadap faktor-faktor di bawah ini:
1.      Penilaian Watak atau Kepribadian (character)
Penilaian watak calon nasabah penerima fasilitas terutama didasarkan kepada hubungan yang telah terjalin antara Bank Syariah dan atau UUS dan nasabah atau calon nasabah yang bersangkutan atau calon informasi yang diperoleh dari pihak lain yang dapat dipercaya sehingga Bank Syariah / atau UUS dapat menyimpulkan bahwa calon nasabah penerima fasilitas yang bersangkutan jujur, beriktikad baik, dan tidak menyulitkan Bank Syariah dan / atau UUS dikemudian hari.[4]
2.      Penilaian Kemampuan
Penilaian kemampuan calon nasabah penerima fasilitas terutama bank harus meneliti tentang keahlian nasabah penerima fasilitas dalam bidang usahanya dan / atau UUS merasa yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dan dikelola oleh orang yang tepat.
3.      Penilain modal (capital)
Penilaian terhadap modal yang dimiliki calon nasabah penerima fasilitas, tetutama Bank Syariah dan / atau UUS harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara keseluruhan, baik untuk masa yang telah lalu maupun perkiraan untuk masa yang akan datang sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon nasabah penerima fasilitas dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon nasabah yang berangkutan.
4.      Penilaian Agunan (colateral)
Dalam penilaian terhadap agunan, Bank Syariah dan / atau UUS harus menilai barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan yang bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi risiko yang ditambahkan sebagai agunan tambahan, apakah sudah cukup memadai sehingga apabila nasabah penerima fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya, agunan tersebut dapat digunakan untuk menanggung pembayaran kembali pembiayaan dari Bank Syariah / dan atau UUS yang bersangkutan.
5.      Penilaian Prospek Usaha (condition of economy)
Penilaian terhadap prospek usaha calon nasabah penerima usaha fasilitas, Bank Syariah terutama harus melakukan analisis mengenai keadaan pasar, baik di dalam maupun di luar negeri, baik untuk dimasa yang telah lalu maupun yang akan datang sehingga dapat diketahui prospek pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon nasabah yang akan dibiayai dengan fasilitas pembiayaan.[5]

D.    Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Dalam rangka menjamin dan memelihara tingkat kesehatan perbankan syariah, bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah diwajibkan untuk memenuhi rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia. Ketentuan dalam Pasal 11 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 menegaskan bahwa besarnya modal disetor minimum untuk menyediakan Bank Syariah ditetapkan dalam peraturan Bank Indonesia.
Sebelumnya dengan peraturan Bank Indonesia Nomor 7/13/PBI/2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/7/PBI/2006, Bank Indonesia menetapkan Bank Umum Syariah dan UUS wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% dari ATMR, maka kantor pusat dari Bank Umum Konvensional dari UUS wajib menambah kekurangan modal minimum, sehingga mencapai 8% dari ATMR.[6]

E.     Batas Maksimum Penyaluran Dana
Salah satu penyebab dari kegagalan usaha bank antara lain adalah penyediaan dana yang tidak didukung oleh kemampuan bank mengelola konsentrasi penyediaan dana secara efektif. Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan usaha bank sebagai akibat dari konsentrasi penyediaan dana tersebut maka bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, antara lain dengan melakukan penyebaran dan diversifikasi fortofolio penyediaan dana terutama melalui pembatasan penyediaan dana, baik kepada pihak terkait maupun kepada pihak bukan terkait sebesar persentase tertentu dari modal bank atau yang dikenal sebagai batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Ketentuan BMPK terdapat dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dan Undanh-undang No. 21 Tahun 2008.
Sebagaimana diketahui dalam penyaluran dana berdasarkan prinsip syariah oleh Bank Syariah dan UUS mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank yang bersangkutan. Selain itu, mengingat penyaluran dana yang dimaksud bersumber dari dana masyarakat yang disimpan pada Bank Syariah dan UUS, risiko yang dihadapi Bank Syariah dan UUS juga dapat berpengaruh pada keamanan dana masyarakat tersebut. Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit atau pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan ataupun fasilitas lain, sehingga tidak terpusat pada nasabah debitur atau kelompok nasabah debitur tertentu.
Berdasarkan kepada pertimbangan diatas, maka Bank Syariah dan UUS diwajibkan untuk memenuhi batas maksimum penyaluran dana (BMPD) berdasarkan prinsip syariah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 37 Undang-undang No. 21 Tahun 2008, yaitu:[7]
1.      Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penetapan investasi surat berhaga yang berbasis syariah, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah dan UUS kepada Nasabah Penerima Fasilitas atau sekelompok Nasabah Penerima Fasilitas yang terkait, termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.
2.      Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak boleh melebihi 30% dari modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3.      Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah kepada:
a.       Pemegang saham yang memiliki 10% atau lebih dari modal disetor Bank Syariah
b.      Anggota dewan komisaris
c.       Anggota direksi
d.      Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c
e.       Pejabat bank lainnya, dan
f.       Perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
4.      Batas maksimum sebagaimana dimaksud paa ayat 3 tidak boleh melebihi 20% dari modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
5.      Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 3 wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.[8]
Dari ketentuan dalam Pasal 37 Undang-undang No. 21 Tahun 2008, jelas bahwa Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk menetapkan BMPD berdasarkan prinsip syariah untuk nasabah penerima fasilitas atau sekelompok nasabah penerima fasilitas yang terkait, termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syariah dan UUS dan serta pengurus Bank Syariah yang bersangkutan. Jenis BMPD dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
a.       Jenis BMPD 30%
Bank Indonesia dapat menetapkan BMPD yang lebih rendah dari 30% dari modal Bank Syariah, tetapi tidak boleh melebihi 30% dari modal Bank Syariah. BMPD ini ditujukan kepada nasabah penerima fasilitas, atau sekelompok nasabah penerima fasilitas yang terkait, termasuk pada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.
b.      Jenis BMPD 20%
Bank Indonesia dapat menetapkan BMPD yang lebih rendah dari 20% dari modal Bank Syariah, tetapi tidak boleh melebihi 20% dari modal Bank Syariah. BMPD ini ditujukan kepada:
1.      Pemegang saham yang memiliki 10% atau lebih dari modal disetor Bank Syariah
2.      Anggota dewan komisaris
3.      Anggota direksi
4.      Keluarga dari pihak pemegang saham yang memiliki 10% atau lebih modal disetor, anggota dewan komisaris dan anggota direksi,
5.      Pejabat bank lainnya, dan
6.      Perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak pemegang saham yang memiliki 10% atau lebih modal disetor Bank Syariah, anggota dewan komisaris, anggota direksi beserta dengan keluarganya dan pejabat bank lainnya.[9]

F.     Larangan Dalam Pemberian Kredit
Selain pembatasan dalam pemberian kredit berupa BMPK, diatur pula pembatasan dalam pemberian kredit berupa larangan dalam pemberian kredit. Dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indinesia Nomor 23/70/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/3/UKU masing-masing tanggal 28 Februari 1991, Bank Indonesia mengatur pembatasan pemberian kredit untuk pembelian dan pemilikan saham oleh bank. Disebutkan bahwa bank tidak diperkenankan atau dilarang:
1.      Memberikan kredit untuk membiayai pembelian saham atau modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, kecuali untuk pemberian kredit investasi untuk pembiayaan barang modal (aktiva tetap/bergerak) yang diperlukan oleh perusahaan yang melakukan kegiatan jual beli saham atau pembelian obligasi yang diperdagangkan di pasar modal.
2.      Memiliki saham yang tidak dimaksudkan sebagai pernyataan.[10]
Ketentuan larangan dalam pemebrian kredit tersebut disempurnakan lagi dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indinesia Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Bnk Indonesia Nomor 24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang kredit pada perusahaan sekuritas dan kredit dengan agunan saham. Bank Indonesia menetapkan bebrapa hal yang berkaitan dengan pembatasan dalam pemberian kredit bank untuk jual beli saham, yaitu:
1.         Bank dilarang memberikan kredit dengan agunan pokok dan agunan tambahan berupa saham perusahaan lain,
2.         Bank dilarang memeberikan kredit kepada perorangan atau perusahaan yang bukan perusahaan sekuritas untuk jual beli saham, kecuali pemberian kredit kepada koperasi dalam rangka pembelian saham bank yang bersangkutan.
Penerapan system devisa bebeas di Indonesia telah mempercepat perkembangan dan integrasi pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan dunia. Perkembangan pasar keuangan antara lain tercermin pada bertambahnya keanekaragaman produk jasa keuangan, sebagai hasil dari berbagai inovasi di industry keuangan. Integrasi pasar keuangan antara lain terlihat pada penggunaan mata uang domestic, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pada awalnya mata uang domestic digunakan oleh warga negara asing dan badan asing di dalam negeri, namun selanjutnya penggunaan tersebut meluas ke luar negeri baik oleh warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia maupun oleh warga negara asing dan badan asing.
Sebagai akibat dari perkembangan dan integrasi pasar keuangan tersebut, peningkatan transaksi rupiah antara bank dengan warga negara asing dan badan asing dalam perkembangannya telah menimbulkan ketidakstabilan kondisi moneter di dalam negeri, khususnya dalam bentuk tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Sehubungan dengan hal tersebut, telah diambil langkah kebijakan dengan menetapkan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagaimana tertuang dalam peraturan Bank Indonesia Nomor 3/3/PBI/2001 pada dasarnya mengatur transaksi rupiah antara bank dengan warga negara asing, badan hukum asing atau badan asing lainnya, warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili din Indonesia, dan kantor bank atau badan hukum Indonesia di luar negeri, serta pengaturan pemberian kredit valuta asing oleh bank kepada pihak-pihak tersebut. Pengaturan terhadap transaksi rupiah dan pemberian kredit valas  antara bank dengan pihak-pihak tersebut merupakan langkah kehati-hatian dalam rangka melindungi integritas dan stabilitas system keuangan indinesia, sekaligus mengoptimalkan pemanfaatan sumber dana dalam negeri, baik dalam rupiah maupun valuta asing, bagi kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang perekonomian domestic untuk tumbuh berkesinambungan. Di pihak lain, peraturan tersebut secara umum tidak bertentangan, baik dengan ketentuan system devisa bebas maupun ketentuan-ketentuan internasinal yang berlaku.[11]
Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank telah menyediakan kemungkinan bagi berbagai transaksi untuk kepentingan pembiayaan yang bermanfaat bagi perekonomian domestic, namun masih dirasakan perlu dilakukan beberapa penyempurnaan. Langkah penyempurnaan perlu diambil agar di satu pihak, ketetntuan yang berlaku tidak menghambat kegiatan produktif dan dapat sejalan dengan beberapa perkembangan terakhir baik dalam pasar keuangan maupun dalam perekonomian domestic secara keseluruhan. Namun dipihak lain, langkah penyempurnaan tersebut dapat tetap menunjang tercapainya stabilitas system keuangan dan moneter di dalam negeri. [12]
Berdasarkan kepada pertimbangan tersebut, kemudian Bank Indonesia mencabut Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/3/PBI/2001 dengan mengatur kembali ketentuan pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh bank dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang pembatasan Transaksi rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank. Menurut ketentuan ini, Bank Umum dilarang dan atau dibatasi dan atau dikecualikan melakukan transaksi-transaksi tertentu dengan pihak asing. Pihak asing di sini meliputi:
1.         Warga negara asing
2.         Badan hukum asing atau lembaga asing lainnya
3.         Warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia
4.         Kantor Bank Umum di luar negeri dari Bank umum yang berkantor pusat di Indonesia
5.         Kantor perusahaan d luar negeri dari perusahaan yang berbadan hukum Indonesia.
Pada pasal 3 Peraturan bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 diatur mengenai pelarangan transaksi yang dilakukan Bnak Umum dengan pihak asing, yang berlaku pula terhadap transaksi sejenis berdasarkan prinsip syariah. Menurut ketentuan ini, transaksi-transaksi tertentu yang dilarang dilakukan Bank umum dengan pihak asing meliputi:[13]
1.         Pemberian kredit dalam rupiah dan atau valuta asing
2.         Penempatan dalam rupiah
3.         Pembelian surat berharga dalam rupiah yang diterbitkan oleh pihak asing
4.         Tagihan antar kantor dalam rupiah
5.         Tagihan antar kantor dalam valuta asing dalam rangka pemberian kredit di luar negeri
6.         Penyertaan modal dalam rupiah
7.         Transfer rupiah ke rekening yang dimiliki pihak asing dan atau yang dimiliki secara gabungan (joint account) antara pihak asing dan bukan pihak asing pada bank di dalam negeri
8.         Transfer rupiah ke rekening yang dimiliki pihak asing dan atau yang dimiliki secara gabungan (joint account)  antara pihak asing dengan bukan pihak asing pada bank diluar negeri.[14]

G.    Kewajiban Mengumumkan Neraca dan Laporan Laba Rugi Tahunan
Kewajiban perbankan syariah untuk mengumumkan laporan keuangan mendapatkan penegasan kembali dalam ketentuan Pasal 35 ayat 5 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 yang menentukan, bahwa Bank Syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba rugi kepada publik dalam waktu dan bentuk yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
Pelaksanaan kewajiban untuk mengumumkan neraca dan perhitungan laba / rugi wajib secara tertib oleh setiap bank (termasuk bank syariah) sangat diperlukan oleh masyarakat mengingat tingkat kesehatan masing-masing bank (sesuai dengan penilaian Bank Indonesia) bersifat rahasia serta tidak boleh diketahui oleh umum. Hanya melalui neraca dan perhitungan laba / rugi tahunan dari bank yang bersangkutan, sebagaimana diumumkan melalui media cetak, masyarakat dapat mengetahui (sekalipun tidak secara terperinci) keadaan bank tersebut.
Selain itu, dalam Pasal 35 ayat 2 dan ayat 3 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 ditetapkan bahwa Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum, laporan berkala lainnya, yang sebelumnya wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik. Penyampaian laporan dimaksud dilakukan Bank Syariah dan UUS dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 35 ayat 2dan ayat 3 Undang-undang No. 21 Tahun 2008, maka jelas bahwa Bank Syariah dan UUS mempunyai kewajiban secara berkala dalam bentuk tertentu menyampaikan kepada Bank Indonesia mengenai laporan keuangan bank, berupa:
1.      Neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan yang diaudit oleh kantor akuntan publik yang memiliki akuntan dengan keahlian bidang akuntansi syariah beserta penjelasannya.
2.      Laporan berkala lainnya.[15]
Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/176/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998, Bank Indonesia menetapkan bahwa bank umum diwajibkan untuk mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi secara Triwulan wajib disajikan sekurang-kurangnya dalam bentuk perbandingan dengan laporan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Ketentuan dalam Pasal 8 Peaturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/50/PBI/2005 menentukan bahwa Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulan wajib dilakukan sekurang-kurangnya 4 kali dalam 1 tahun yaitu pada akhir bulan Maret, Juni dan September serta laporan keuangan akhir tahun posisi akhir bulan Desember. Apabila dipandang perlu oleh Bank Indonesia, bank umum wajib:
1.      Mengumumkan laporan keuangan publikasi selain periode di atas
2.      Mengumumkan informasi lain yang akan ditentukan oleh Bank Indonesia.
Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/50/PBI/2005, bahwa Pengumuan Laporan Publik Triwulan wajib ditandatangani sekurang-kurangnya 2 orang anggota Direksi bank umum. Selain itu khusus untuk pengumuman Laporan keuangan Publikasi Triwulan untuk posisi akhir bulan Deseber wajib mencantumkan nama Akuntan Publik yang bertanggung jawab dalam audit dan nama Kantor Akuntan Publik yang melakukan audit Laporan Keuangan Tahunan serta opini yang diberikan.
Sebagai bukti, bank umum diwajibkan menyampaikan kepada Bank Indonesia fotokopi atau guntingan surat kabar yang memuat laporan Keuangan Publikasi Triwulan dan disket yang berisi Laporan Keuangan Publikasi Triwulan, selambat-lambatnya 5 hari kerja sejak tanggal penguuman di surat kabar. Di samping itu, Bank Indonesia juga akan mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Triwulan yang disampaikan oleh Bank Umum pada home page Bank Indonesia.[16]
Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Bulanan dilakukan selambat-lambatnya 75 hari setelah bulan laporan. Sebelum dilakukan pengumuman, Bank Indonesia akan menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi Bulanan ke bank untuk dilakukan penelitian mengenai akurasi laporan.[17] 


[1] Permadi Gandapraja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 21.
[2] Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam: Kedudukannya dalam Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: Utama Pustaka Grafiki, 2005), hal. 172.
[3] Undang-undang  No. 21 Tahun 2008 Pasal 35 Tentang Prinsip Kehati-hatian Perbankan Syariah.
[4] Rachmadi Usman, Aspek Hukum perbankan Syariah di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hal. 148.
[5] Rachmadi Usman, Aspek Hukum perbankan Syariah di Indonesia, hal. 149.
[6] Rachmadi Usman, Aspek Hukum perbankan Syariah di Indonesia, hal. 150.
[7] Undang-Undang  No. 21 Tahun 2008 Pasal  37 Tentang Prinsip Kehati-hatian Perbankan Syariah.
[8] Undang-undang  No. 21 Tahun 2008 Pasal  37 Tentang Prinsip Kehati-hatian Perbankan Syariah.
[9] Rachmadi Usman, Aspek Hukum perbankan Syariah di Indonesia, hal. 155.
[10] Rahmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, hal. 169.
[11] Rahmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, hal. 170.
[12] Rahmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia , hal. 170.
[13] Rahmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia,  hal. 172.
[14] Rachmadi Usman, Aspek Hukum perbankan Syariah di Indonesia, hal. 172.
[15] Rachmadi Usman, Aspek Hukum perbankan Syariah di Indonesia, hal. 226.
[16] Rachmadi Usman, Aspek Hukum perbankan Syariah di Indonesia, hal. 228.
[17] Rachmadi Usman, Aspek Hukum perbankan Syariah di Indonesia, hal. 229.

Komentar