- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
A. Pengertian Prinsip Kehati-hatian
Kehati-hatian berasal dari kata
“hati-hati” (prudent) yang erat kaitannya dengan fungsi pengawasan bank
dan manajement bank. Prudent juga dapat diterjemahkan dengan bijaksana,
namun dalam dunia perbankan istilah itu digunakan dan diterjemahkan dengan
hati-hati atau kehati-hatian (prudential).[1]
Jadi, prinsip kehati-hatian perbankan (prudent
banking principle) merupakan suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa
bank atau lembaga dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian dengan mengenal customer dalam rangka
untuk melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya, dengan
mengharapkan kadar keperayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan tetap
tinggi, sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di
bank.
B. Pengaturan Prinsip Kehati-hatian dalam
Undang-Undang Perbankan
Prinsip kehati-hatian dalam sistem
perbankan digunakan sebagai perlindungan secara tidak langsung oleh pihak bank
terhadap kepentingan-kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya di bank.
Prinsip ini digunakan untuk mencegah timbulnya risiko-risiko kerugian dari
suatu kebijakan dan kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank. Prinsip ini telah
dinormatifkan dalam peraturan perbankan di Indonesia misalnya dalam UU No. 7
Tahun 1992 yang sudah dirubah dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang
menegakan: “Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan
kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas,
solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib
melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”.[2]
Penerapan prinsip kehati-hatian juga
diatur dalam Undang-undang Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008 pasal 35 yaitu:
1. Bank Syariah dan UUS dalam melakukan
kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.
2. Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan
kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan
laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip
akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya dalam waktu
dan bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
3. Neraca dan Perhitungan laba rugi tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor
akuntan publik.
4. Bank Indonesia dapat menetapkan
pengecualian terhadap kewajiban sebagaimana diaksud pada ayat 3 bagi Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah.[3]
C. Analisis Kelayakan Penyaluran Dana
Pada Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998,
mewajibkan pula Bank Umum Syariah untuk memiliki dan menerapkan pedoman
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Pedoman analisis kelayakan penyaluran dana perbankan
syariah didasarkan kepada penilaian yang saksama terhadap faktor-faktor di
bawah ini:
1. Penilaian Watak atau Kepribadian (character)
Penilaian
watak calon nasabah penerima fasilitas terutama didasarkan kepada hubungan yang
telah terjalin antara Bank Syariah dan atau UUS dan nasabah atau calon nasabah
yang bersangkutan atau calon informasi yang diperoleh dari pihak lain yang
dapat dipercaya sehingga Bank Syariah / atau UUS dapat menyimpulkan bahwa calon
nasabah penerima fasilitas yang bersangkutan jujur, beriktikad baik, dan tidak
menyulitkan Bank Syariah dan / atau UUS dikemudian hari.[4]
2. Penilaian Kemampuan
Penilaian
kemampuan calon nasabah penerima fasilitas terutama bank harus meneliti tentang
keahlian nasabah penerima fasilitas dalam bidang usahanya dan / atau UUS merasa
yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dan dikelola oleh orang yang tepat.
3. Penilain modal (capital)
Penilaian
terhadap modal yang dimiliki calon nasabah penerima fasilitas, tetutama Bank
Syariah dan / atau UUS harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara
keseluruhan, baik untuk masa yang telah lalu maupun perkiraan untuk masa yang
akan datang sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon nasabah
penerima fasilitas dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon nasabah
yang berangkutan.
4. Penilaian Agunan (colateral)
Dalam
penilaian terhadap agunan, Bank Syariah dan / atau UUS harus menilai barang,
proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan yang
bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi risiko yang
ditambahkan sebagai agunan tambahan, apakah sudah cukup memadai sehingga apabila
nasabah penerima fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya, agunan
tersebut dapat digunakan untuk menanggung pembayaran kembali pembiayaan dari
Bank Syariah / dan atau UUS yang bersangkutan.
5. Penilaian Prospek Usaha (condition of
economy)
Penilaian
terhadap prospek usaha calon nasabah penerima usaha fasilitas, Bank Syariah
terutama harus melakukan analisis mengenai keadaan pasar, baik di dalam maupun
di luar negeri, baik untuk dimasa yang telah lalu maupun yang akan datang
sehingga dapat diketahui prospek pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon
nasabah yang akan dibiayai dengan fasilitas pembiayaan.[5]
D. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Dalam rangka menjamin dan memelihara
tingkat kesehatan perbankan syariah, bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah diwajibkan untuk memenuhi rasio kewajiban penyediaan modal
minimum (KPMM) sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia. Ketentuan
dalam Pasal 11 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 menegaskan bahwa besarnya modal
disetor minimum untuk menyediakan Bank Syariah ditetapkan dalam peraturan Bank
Indonesia.
Sebelumnya dengan peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/13/PBI/2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Umum Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/7/PBI/2006, Bank Indonesia menetapkan Bank Umum Syariah dan
UUS wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% dari ATMR, maka kantor pusat
dari Bank Umum Konvensional dari UUS wajib menambah kekurangan modal minimum,
sehingga mencapai 8% dari ATMR.[6]
E. Batas Maksimum Penyaluran Dana
Salah satu penyebab dari kegagalan usaha
bank antara lain adalah penyediaan dana yang tidak didukung oleh kemampuan bank
mengelola konsentrasi penyediaan dana secara efektif. Dalam rangka mengurangi
potensi kegagalan usaha bank sebagai akibat dari konsentrasi penyediaan dana
tersebut maka bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, antara lain dengan
melakukan penyebaran dan diversifikasi fortofolio penyediaan dana terutama
melalui pembatasan penyediaan dana, baik kepada pihak terkait maupun kepada
pihak bukan terkait sebesar persentase tertentu dari modal bank atau yang
dikenal sebagai batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Ketentuan BMPK terdapat
dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dan Undanh-undang No. 21 Tahun 2008.
Sebagaimana diketahui dalam penyaluran
dana berdasarkan prinsip syariah oleh Bank Syariah dan UUS mengandung risiko
kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, yang dapat berpengaruh terhadap
kesehatan bank yang bersangkutan. Selain itu, mengingat penyaluran dana yang
dimaksud bersumber dari dana masyarakat yang disimpan pada Bank Syariah dan
UUS, risiko yang dihadapi Bank Syariah dan UUS juga dapat berpengaruh pada
keamanan dana masyarakat tersebut. Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan
dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur
penyaluran kredit atau pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
pemberian jaminan ataupun fasilitas lain, sehingga tidak terpusat pada nasabah
debitur atau kelompok nasabah debitur tertentu.
Berdasarkan kepada pertimbangan diatas,
maka Bank Syariah dan UUS diwajibkan untuk memenuhi batas maksimum penyaluran
dana (BMPD) berdasarkan prinsip syariah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 37
Undang-undang No. 21 Tahun 2008, yaitu:[7]
1. Bank Indonesia menetapkan ketentuan
mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan prinsip syariah, pemberian
jaminan, penetapan investasi surat berhaga yang berbasis syariah, atau hal lain
yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah dan UUS kepada Nasabah
Penerima Fasilitas atau sekelompok Nasabah Penerima Fasilitas yang terkait,
termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syariah dan UUS
yang bersangkutan.
2. Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 tidak boleh melebihi 30% dari modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3. Bank Indonesia menetapkan ketentuan
mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan prinsip syariah, pemberian
jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang
dapat dilakukan oleh Bank Syariah kepada:
a. Pemegang saham yang memiliki 10% atau
lebih dari modal disetor Bank Syariah
b. Anggota dewan komisaris
c. Anggota direksi
d. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c
e. Pejabat bank lainnya, dan
f. Perusahaan yang di dalamnya terdapat
kepentingan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf
e.
4. Batas maksimum sebagaimana dimaksud paa
ayat 3 tidak boleh melebihi 20% dari modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dan ayat 3 wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.[8]
Dari ketentuan dalam
Pasal 37 Undang-undang No. 21 Tahun 2008, jelas bahwa Bank Indonesia diberikan
kewenangan untuk menetapkan BMPD berdasarkan prinsip syariah untuk nasabah
penerima fasilitas atau sekelompok nasabah penerima fasilitas yang terkait,
termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syariah dan UUS
dan serta pengurus Bank Syariah yang bersangkutan. Jenis BMPD dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
a. Jenis BMPD 30%
Bank
Indonesia dapat menetapkan BMPD yang lebih rendah dari 30% dari modal Bank
Syariah, tetapi tidak boleh melebihi 30% dari modal Bank Syariah. BMPD ini
ditujukan kepada nasabah penerima fasilitas, atau sekelompok nasabah penerima
fasilitas yang terkait, termasuk pada perusahaan dalam kelompok yang sama
dengan Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.
b. Jenis BMPD 20%
Bank
Indonesia dapat menetapkan BMPD yang lebih rendah dari 20% dari modal Bank
Syariah, tetapi tidak boleh melebihi 20% dari modal Bank Syariah. BMPD ini
ditujukan kepada:
1. Pemegang saham yang memiliki 10% atau
lebih dari modal disetor Bank Syariah
2. Anggota dewan komisaris
3. Anggota direksi
4. Keluarga dari pihak pemegang saham yang
memiliki 10% atau lebih modal disetor, anggota dewan komisaris dan anggota
direksi,
5. Pejabat bank lainnya, dan
6. Perusahaan yang di dalamnya terdapat
kepentingan dari pihak pemegang saham yang memiliki 10% atau lebih modal
disetor Bank Syariah, anggota dewan komisaris, anggota direksi beserta dengan
keluarganya dan pejabat bank lainnya.[9]
F.
Larangan Dalam Pemberian Kredit
Selain
pembatasan dalam pemberian kredit berupa BMPK, diatur pula pembatasan dalam
pemberian kredit berupa larangan dalam pemberian kredit. Dengan Surat Keputusan
Direksi Bank Indinesia Nomor 23/70/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 23/3/UKU masing-masing tanggal 28 Februari 1991, Bank Indonesia mengatur
pembatasan pemberian kredit untuk pembelian dan pemilikan saham oleh bank.
Disebutkan bahwa bank tidak diperkenankan atau dilarang:
1. Memberikan kredit untuk membiayai
pembelian saham atau modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, kecuali
untuk pemberian kredit investasi untuk pembiayaan barang modal (aktiva
tetap/bergerak) yang diperlukan oleh perusahaan yang melakukan kegiatan jual
beli saham atau pembelian obligasi yang diperdagangkan di pasar modal.
2.
Memiliki saham yang tidak dimaksudkan sebagai
pernyataan.[10]
Ketentuan
larangan dalam pemebrian kredit tersebut disempurnakan lagi dengan Surat
Keputusan Direksi Bank Indinesia Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Bnk
Indonesia Nomor 24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang kredit
pada perusahaan sekuritas dan kredit dengan agunan saham. Bank Indonesia
menetapkan bebrapa hal yang berkaitan dengan pembatasan dalam pemberian kredit
bank untuk jual beli saham, yaitu:
1.
Bank dilarang memberikan kredit dengan agunan pokok
dan agunan tambahan berupa saham perusahaan lain,
2.
Bank dilarang memeberikan kredit kepada perorangan
atau perusahaan yang bukan perusahaan sekuritas untuk jual beli saham, kecuali
pemberian kredit kepada koperasi dalam rangka pembelian saham bank yang
bersangkutan.
Penerapan
system devisa bebeas di Indonesia telah mempercepat perkembangan dan integrasi
pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan dunia. Perkembangan pasar
keuangan antara lain tercermin pada bertambahnya keanekaragaman produk jasa
keuangan, sebagai hasil dari berbagai inovasi di industry keuangan. Integrasi
pasar keuangan antara lain terlihat pada penggunaan mata uang domestic, baik di
dalam negeri maupun luar negeri. Pada awalnya mata uang domestic digunakan oleh
warga negara asing dan badan asing di dalam negeri, namun selanjutnya
penggunaan tersebut meluas ke luar negeri baik oleh warga negara Indonesia dan
badan hukum Indonesia maupun oleh warga negara asing dan badan asing.
Sebagai
akibat dari perkembangan dan integrasi pasar keuangan tersebut, peningkatan
transaksi rupiah antara bank dengan warga negara asing dan badan asing dalam
perkembangannya telah menimbulkan ketidakstabilan kondisi moneter di dalam
negeri, khususnya dalam bentuk tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Sehubungan
dengan hal tersebut, telah diambil langkah kebijakan dengan menetapkan
pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagaimana tertuang dalam peraturan Bank
Indonesia Nomor 3/3/PBI/2001 pada dasarnya mengatur transaksi rupiah antara
bank dengan warga negara asing, badan hukum asing atau badan asing lainnya,
warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent
resident) negara lain dan tidak berdomisili din Indonesia, dan kantor bank
atau badan hukum Indonesia di luar negeri, serta pengaturan pemberian kredit
valuta asing oleh bank kepada pihak-pihak tersebut. Pengaturan terhadap
transaksi rupiah dan pemberian kredit valas antara bank dengan pihak-pihak tersebut
merupakan langkah kehati-hatian dalam rangka melindungi integritas dan
stabilitas system keuangan indinesia, sekaligus mengoptimalkan pemanfaatan
sumber dana dalam negeri, baik dalam rupiah maupun valuta asing, bagi
kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang perekonomian domestic untuk tumbuh
berkesinambungan. Di pihak lain, peraturan tersebut secara umum tidak
bertentangan, baik dengan ketentuan system devisa bebas maupun
ketentuan-ketentuan internasinal yang berlaku.[11]
Dalam
perkembangan selanjutnya, meskipun Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/3/PBI/2001
tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank
telah menyediakan kemungkinan bagi berbagai transaksi untuk kepentingan
pembiayaan yang bermanfaat bagi perekonomian domestic, namun masih dirasakan
perlu dilakukan beberapa penyempurnaan. Langkah penyempurnaan perlu diambil
agar di satu pihak, ketetntuan yang berlaku tidak menghambat kegiatan produktif
dan dapat sejalan dengan beberapa perkembangan terakhir baik dalam pasar
keuangan maupun dalam perekonomian domestic secara keseluruhan. Namun dipihak
lain, langkah penyempurnaan tersebut dapat tetap menunjang tercapainya
stabilitas system keuangan dan moneter di dalam negeri. [12]
Berdasarkan
kepada pertimbangan tersebut, kemudian Bank Indonesia mencabut Peraturan Bank
Indonesia Nomor 3/3/PBI/2001 dengan mengatur kembali ketentuan pembatasan
transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh bank dalam Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 tentang pembatasan Transaksi rupiah dan
Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank. Menurut ketentuan ini, Bank Umum
dilarang dan atau dibatasi dan atau dikecualikan melakukan transaksi-transaksi
tertentu dengan pihak asing. Pihak asing di sini meliputi:
1.
Warga negara asing
2.
Badan hukum asing atau lembaga asing lainnya
3.
Warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk
tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di
Indonesia
4.
Kantor Bank Umum di luar negeri dari Bank umum yang
berkantor pusat di Indonesia
5.
Kantor perusahaan d luar negeri dari perusahaan yang
berbadan hukum Indonesia.
Pada pasal
3 Peraturan bank Indonesia Nomor 7/14/PBI/2005 diatur mengenai pelarangan
transaksi yang dilakukan Bnak Umum dengan pihak asing, yang berlaku pula
terhadap transaksi sejenis berdasarkan prinsip syariah. Menurut ketentuan ini,
transaksi-transaksi tertentu yang dilarang dilakukan Bank umum dengan pihak
asing meliputi:[13]
1.
Pemberian kredit dalam rupiah dan atau valuta asing
2.
Penempatan dalam rupiah
3.
Pembelian surat berharga dalam rupiah yang diterbitkan
oleh pihak asing
4.
Tagihan antar kantor dalam rupiah
5.
Tagihan antar kantor dalam valuta asing dalam rangka
pemberian kredit di luar negeri
6.
Penyertaan modal dalam rupiah
7.
Transfer rupiah ke rekening yang dimiliki pihak asing
dan atau yang dimiliki secara gabungan (joint account) antara pihak
asing dan bukan pihak asing pada bank di dalam negeri
8.
Transfer rupiah ke rekening yang dimiliki pihak asing
dan atau yang dimiliki secara gabungan (joint account) antara pihak asing dengan bukan pihak asing
pada bank diluar negeri.[14]
G. Kewajiban Mengumumkan Neraca dan Laporan
Laba Rugi Tahunan
Kewajiban perbankan syariah untuk
mengumumkan laporan keuangan mendapatkan penegasan kembali dalam ketentuan
Pasal 35 ayat 5 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 yang menentukan, bahwa Bank
Syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba rugi kepada publik dalam
waktu dan bentuk yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
Pelaksanaan kewajiban untuk mengumumkan
neraca dan perhitungan laba / rugi wajib secara tertib oleh setiap bank
(termasuk bank syariah) sangat diperlukan oleh masyarakat mengingat tingkat
kesehatan masing-masing bank (sesuai dengan penilaian Bank Indonesia) bersifat
rahasia serta tidak boleh diketahui oleh umum. Hanya melalui neraca dan
perhitungan laba / rugi tahunan dari bank yang bersangkutan, sebagaimana
diumumkan melalui media cetak, masyarakat dapat mengetahui (sekalipun tidak
secara terperinci) keadaan bank tersebut.
Selain itu, dalam Pasal 35 ayat 2 dan
ayat 3 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 ditetapkan bahwa Bank Syariah dan UUS
wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan
dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan
prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum, laporan berkala lainnya, yang
sebelumnya wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik.
Penyampaian laporan dimaksud dilakukan Bank Syariah dan UUS dalam waktu dan
bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 35 ayat 2dan ayat 3 Undang-undang No. 21 Tahun 2008, maka jelas
bahwa Bank Syariah dan UUS mempunyai kewajiban secara berkala dalam bentuk
tertentu menyampaikan kepada Bank Indonesia mengenai laporan keuangan bank,
berupa:
1. Neraca tahunan dan perhitungan laba rugi
tahunan yang diaudit oleh kantor akuntan publik yang memiliki akuntan dengan
keahlian bidang akuntansi syariah beserta penjelasannya.
2. Laporan berkala lainnya.[15]
Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/176/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998, Bank Indonesia
menetapkan bahwa bank umum diwajibkan untuk mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi secara Triwulan wajib disajikan sekurang-kurangnya dalam bentuk
perbandingan dengan laporan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Ketentuan
dalam Pasal 8 Peaturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/50/PBI/2005 menentukan bahwa
Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulan wajib dilakukan
sekurang-kurangnya 4 kali dalam 1 tahun yaitu pada akhir bulan Maret, Juni dan
September serta laporan keuangan akhir tahun posisi akhir bulan Desember.
Apabila dipandang perlu oleh Bank Indonesia, bank umum wajib:
1. Mengumumkan laporan keuangan publikasi
selain periode di atas
2. Mengumumkan informasi lain yang akan
ditentukan oleh Bank Indonesia.
Menurut
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/50/PBI/2005, bahwa Pengumuan Laporan Publik
Triwulan wajib ditandatangani sekurang-kurangnya 2 orang anggota Direksi bank
umum. Selain itu khusus untuk pengumuman Laporan keuangan Publikasi Triwulan
untuk posisi akhir bulan Deseber wajib mencantumkan nama Akuntan Publik yang
bertanggung jawab dalam audit dan nama Kantor Akuntan Publik yang melakukan
audit Laporan Keuangan Tahunan serta opini yang diberikan.
Sebagai
bukti, bank umum diwajibkan menyampaikan kepada Bank Indonesia fotokopi atau
guntingan surat kabar yang memuat laporan Keuangan Publikasi Triwulan dan
disket yang berisi Laporan Keuangan Publikasi Triwulan, selambat-lambatnya 5
hari kerja sejak tanggal penguuman di surat kabar. Di samping itu, Bank
Indonesia juga akan mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi Triwulan yang
disampaikan oleh Bank Umum pada home page Bank Indonesia.[16]
Pengumuman
Laporan Keuangan Publikasi Bulanan dilakukan selambat-lambatnya 75 hari setelah
bulan laporan. Sebelum dilakukan pengumuman, Bank Indonesia akan menyampaikan
Laporan Keuangan Publikasi Bulanan ke bank untuk dilakukan penelitian mengenai
akurasi laporan.[17]
[1] Permadi Gandapraja, Dasar
dan Prinsip Pengawasan Bank (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal.
21.
[2] Sutan Remy Syahdeini, Perbankan
Islam: Kedudukannya dalam Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: Utama Pustaka
Grafiki, 2005), hal. 172.
[3] Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Pasal 35 Tentang Prinsip
Kehati-hatian Perbankan Syariah.
[4] Rachmadi Usman, Aspek
Hukum perbankan Syariah di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hal.
148.
[5] Rachmadi Usman, Aspek
Hukum perbankan Syariah di Indonesia, hal. 149.
[6] Rachmadi Usman, Aspek
Hukum perbankan Syariah di Indonesia, hal. 150.
[7] Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Pasal 37 Tentang Prinsip Kehati-hatian Perbankan
Syariah.
[8] Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Pasal 37 Tentang Prinsip Kehati-hatian Perbankan
Syariah.
[9] Rachmadi Usman, Aspek
Hukum perbankan Syariah di Indonesia, hal. 155.
[14] Rachmadi Usman, Aspek
Hukum perbankan Syariah di Indonesia, hal. 172.
[15] Rachmadi Usman, Aspek
Hukum perbankan Syariah di Indonesia, hal. 226.
[16] Rachmadi Usman, Aspek
Hukum perbankan Syariah di Indonesia, hal. 228.
[17] Rachmadi Usman, Aspek
Hukum perbankan Syariah di Indonesia, hal. 229.
Komentar
Posting Komentar