- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
A.
Pembatalan Putusan Arbitrase
Putusan
Arbitrase itu bersifat final dan binding (mengikat).
Itu berarti, putusan arbitrase tidak bisa di banding dan/atau dikasasi. Kecuali
jika pihak yang bersengketa melepaskan haknya untuk banding dalam perjanjian
arbitrase, penggugat atau tergugat dapat mengajukan banding pada Mahkamah
Agung. Banding harus di ajukan pengadilan negeri dalam tenggang waktu 14 hari
terhitung sejak dikeluarkannya keputusan dan pelaksanaan keputusan di tunda
sampai keputusan Mahkamah Agung menjadi final. Mahkamah Agung akan
memberitahukan kepada Pengadilan Negeri mengenai keputusannya dan kemudian
Pengadilan Negeri akan melaksanakan keputusan tersebut.[1]
Meskipun
demikian, masih ada upaya (hukum) yang dapat dilakukan oleh para pihak yang
berselisih, yaitu upayapermohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase
tersebut.
Menurut
ketentuan Reglement of de rechtsvordering, Staatsblaad 1847:52 (R.V) yang
berlaku. Menurut pasal 643 R.v., putusan arbitrase hanya dapat dilawan atau
dibantah sebagai tidak sah dalam hal-hal sebagai berikut:
1.
Apabila putusan telah diberikan dengan melampaui batas-batas yang
diberikan dalam persetujuan arbitrase
2.
Apabila putusan telah diberikan berdasarkan persetujuan arbitrasi
yang batal atau lampau waktunya.
3.
Apabila putusan telah diberikan oleh sejumlah arbiter yang tidak
berwenang memutus di luar hadirnya arbiter-arbiter lainnya
4.
Apabila telah diputus tentang hal-hal yang tidak dituntut atau
putusan telah mengabulkan lebih dari pada yang dituntut.
5.
Apabila putusan mengandung keputusan-keputusan yang satu sama
lainnya bertentangan
6.
Apabila para arbiter telah melalaikan untuk memutus satu atau lebih
hal yang menurut persetujuan arbitrase telah dimintakan keputusan dari mereka
7.
Apabila para arbiter telah melanggar tata cara prosedural yang atas
ancaman kebatalan harus mereka turut atau indahkan, tetapi hanya akan berlaku
jika menurut ketentuan-ketentuan yang secara khusus dicantumkan dalam
persetujuan arbitrase, bahwa para arbiter harus mengikuti cara yang biasa
berlaku dalam suatu prosedur di muka pengadilan
8.
Apabila telah diberikan keputusan berdasarkan surat-surat yang
setelah keputusan itu diberikan, diakui sebagai palsu ataupun dinyatakan palsu.
9.
Apabila setelah putusan diberikan surat-surat yang bersifat
menetukan yang tadinya disembunyikan oleh salah satu pihak telah ditemuka
kembali
10.
Apabila putusan telah didasarkan atas kecurangan atau penipuan yang
dilakukan sepanjang pemeriksaan tetapi kemudian diketahuiApabila putusan
kemudian diketahui bahwa putusan tersebut didasarkan pada kecurangan atau
itikad jahat, yang dilakukan selama berjalannya pemeriksaan[2]
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, di dalam Pasal 71
ditentukan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase harus dilakukan secara
tertulisan dalam waktu paling lama tiga puluh hari terhitung sejak hari
penyerahan dan pendaftaran putusan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Ini
berarti bahwa putusan arbitrase yang dapat dimohonkan untuk pembatalan adalah
putusan arbitrase yang sudah didaftarkan pada Pengadilan Negeri, tak terkecuali
juga bagi putusan arbitrase Internasional.
Selama proses
pembatalan putusan arbitrase, pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa pokok
perkara. Kewenangan pengadilan terbatas hanya pada kewenangan memeriksa
keabsahan prosedur pengambilan putusan arbitrase. Putusan yang telah dibatalkan
sudah melenyapkan secara keseluruhan wujud fisik maupun nilai yuridisnya.
Seolah-olah sengketa itu belum pernah diproses dan diputus.
Putusan benar-benar secara mutlakdianggap
belum pernah ada. Akibatnya, secara otomatis proses eksekusi atas putusan
arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 70
Undang-Undang Arbitrase dan APS, bahwa: “Terhadap putusan arbitrase para pihak
dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur sebgai berikut:
1.
surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu
2.
setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan pihak lawan
3.
putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.[3]
B.
Alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase
Ada lima alasan
yang ditentukan oleh ICSID Rule sebagai dasar untuk dapat mengajukan permohonan
pembatalan putusan arbitrase sebagai berikut:
1.
Pembentukan majelis arbitrase tidak tetap.
yang dimaksudkan dengan pembentukan majelis arbitrase tidak tepat
adalah pembentukannya dilakukan dengan ketentuan-ketentuan yang ada atau tidak
sesuai dengan klausul atau perjanjian para pihak akan tetapi, jika para pihak
yang berselisih tidak mengajukan keberatan dan tidak mengajukan permohonan
pembatalan putusan dengan alasan pembentukan dewan arbitrase yang tidak tepat
ini,putusan arbitrase tersebut tetap sah, final, danbinding.
2.
Majelis arbitrase melampaui batas kewenangan.
Dengan alasan majelis
arbitrase melampaui kewenangan, para pihak yang berkepentingan dapat pula
mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase majelis dikatakan melampaui
kewenangan, apabila: a. Sesuatu yang diputus atau yang di kabulkan sama sekali
tidak dituntun oleh para pihak, atau b. Putusan telah mengabulkan melebihi apa
yang ditutup para pihak.
3.
Salah seorang arbiter atau
para arbiter melakukan korupsi.
Jika salah seorang arbiter
atau para arbiter melakukan korupsi dapat juga dijadikan alasan untuk
mengajukan permohonan pembatalan, karena dengan alasan yang demikian putusan
arbitrase tersebut adalah tidak sah atau batal demi hukum. Seperti yang telah
dikemukakan, khasus dengan alasan salah seorang arbiter atau para arbiter
melakukan korupsi, permohonan pembatalan hanya dapat diajukan dalam jangka
waktu 120 hari sejak di ketahui kesalahan arbiter atau para arbiter, dan jangka waktu 120 hari ini berlaku selama
3 Tahun sejak putusan tersebut dijatuhkan dan/ diterima para pihak.
4.
Terjadinya penyimpangan yang serius terhadap tata cara pemeriksaan
suatu penyimpangan terhadap tata cara pemeriksaan di katakana serius apabila
penyimpangan dilakukan terhadap halhal yang pundamental dan melanggar hukum
ataupun Rule yang dipergunakan dalam memutus perselisihan tidak sesuai dengan
yang di sepakati para pihak.[4]
Demikian juga penyimpangan tata cara pemeriksaan dianggap serius
apabila tata cara pemeriksaan tersebut menyimpang atau menimbulkan hak dan
kepentingan para pihak, serta tidak memperhatikan memperhatikan tata cara
pemeriksaan yang dikehendaki para pihakdalam klausa atau perjanjian arbitrase
yang telah di sepakakati.
Denganbegitukeputusanarbitraseterancambataldikarenakanterdapatsalahsatuataulebihdarikelimahaltersebutdilakukan,
sehinggadianggaptidakcukupalasandalampengambilankeputusan.
Permohonan
pembatalan diajukan secara tertulis dalam waktu 30 hari kepada pengadilan
wilayah hukum dimana keputusan arbitrase diambil, hal ini didasarkan pada
syarat putusan arbitrase asing (Internasional), yang apabila permohonan
dikabulkan maka dalam waktu 30 hari Ketua Pengadilan Negeri akan menentukan
lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
Untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak
lawan, berdasarkan ketentuan pasal 72 ayat 4 UU Arbitrase dinyatakan bahwa
terhadap putusan pembatalan dari Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan
banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Akan
tetapi UU Arbitrase tidak mengatur tentang ketentuan mengenai batas waktu
pengajuan banding dan memori banding, maka hal ini harus didasarkan kepada
ketentuan hukum acara yang berlaku, yang menyatakan bahwa pengajuan memori
banding oleh Pemohon Banding wajib disampaikan dalam tenggang waktu 14 hari
setelah pemohonan banding diterima paling lama 30 hari kemudian sudah harus
diputus.
C. Pro
KontraTerhadapUpayaHukumPembatalanPutusanArbitrase
Pasal 70 UUN0. 30 tahun 1999
menentukan, permohonan pembatalan arbitrase hanya dimungkinkan dalam hal putusan arbitrase tersebut mengandung
unsure-unsur sebagai berikut:
1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu
2.
setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan pihak lawan
3. putusan diambil
dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan
sengketa.
Sehingga pembatalan arbitrase hanya dapat dilakukan berdasarkan
alasan yang telah ditentukan, adanya kepalsuan atau tipu muslihat yang
harus dibuktikan terlebih dahulu dalam putusan hakim. Maka sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa dalam pasal
70 UU no. 30 tahun 1999 adalah limitasi atau bersifat membatasi.[5]
Berdasarakan penjelasan diatas pada prinsipnya putusan arbitrase hanya dapat dibatalkan jika terdapat alasan
yang luar biasa, karena upaya hukum pembatalan arbitrase bukan banding. Ole
sebab itu tanpa adanya alasan yang spesifik pembatalan putusan tidak dapat dipenuhi.
Hal ini bertujuan tidak melenyapkan prinsip keputusan arbritase yang final dan
binding. Namun dalam praktiknya, pembatalan putusan arbitrase oleh pengadilan negeri sampai mahkama agung masih ketidak seragaman dan inkonsisten. Khususnya
yang berkaitan dengan penggunaan alasan pembatalan putusan arbitrase dalam pasal 70,
yang mungkin dalam pembatalan diluar ketentuan dari pasal tersebut.[6]
Berdasarkan ketentuan kaidah hukum internasional penetuan arbitrase
yang lebih luas, ketentuan yang
mengakibatkan sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa penafsiran hukum yang
dilakukan secara luas dan bukan semata-mata terbatas pada alasan pembatalan seperti
yang tertuang dalam pasal 70 UU No. 30 tahun 1999.
Bahwa arbiter atau majelis arbitrase ialah pihak netral dan professional. Dan
mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum,
atau berdasarkan keadilan. Apalagi jika mengenai sengketa yang berhubungan dengan
Negara atau badan hukum Negara yang berbeda.Sehingga sering terjadi putusan arbitrase
final dan mengikat,
dan pembatalannya ditolak dengan pertimbangan tidak cukup beralasan,
tetapi jika diajukannya eksekusi tehadap putusan tersebut tidak dapat dieksekusi.
Meskipun konsep dasar dari arbitrase final dan mengikat,
tetapi dapat dimaklumi karena ketentuan hukum yang melindungi kepentingan di
Indonesia belum memadai, dan jika masalah pembatalan putusan arbitrase yang
berlaku pada uu no. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,
maka dalam upaya melindungi masyarakat konsumen telah melakukan trobosan baru.
Sehingga pemeriksaan perkara pembatalan putusan arbitrase BPSK
(Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) oleh pengadilan negeri tidak saja meliputi hal-hal
yang mengandung unsure-unsur yang dapat dibatal kanberdasarkan pasal 70 no. 30
tahun 1999, tetapi juga meliputi adanya kesalahan penerapan hukum secara luas yang
dilakukan oleh arbitrase atau mejelis arbitrase BPSK ialah:
1. Adanya kesalahan dalam menilai alat bukti yang
di ajukan oleh para pihak.
2. Adanya kekurang cermat dalam menggali fakta-fakta yuridis sesungguhnya dapat ditemukan dari alat bukti
yang di ajukan oleh para pihak.
3. Adanya kesalahan karena suatu hal telah dikabulkan,
walaupun tidak di tuntut atau mengabulkan sesuatu hal lebih dari yang di tuntutkan.
4. Adanya kekhilafan atau adanya kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan.[7]
Untuk putusan
arbitrase internasional, seperti disebutkan di Pasal 70, Pasal 71,Pasal 72 UU
Arbitrase, hanya memberi wewenang kepada pengadilan Indonesia untuk melakukan
pembatalan putusan arbitrase yang dibuat di Indonesia. Hal ini dapat diartikan
bahwa ketentuan-ketentuan pembatalan tersebut bukan sebagai dasar bagi
pengadilan Indonesia untuk melakukan pembatalan putusan arbitrase
internasional.
Hal ini
terlihat dari penggunaan kata putusan arbitrase internasional dalam Pasal 65
sampai dengan Pasal 69 UU Arbitrase yang dibedakan dengn kata putusan arbitrase
seperti tercantum dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Jadi Pengadilan Negeri tidak
dapat membatalkan putusan arbitrase Internasional, sedangkan putusan arbitrase
hanya dibuat di dalam negeri hanya dapat dibatalkan dengan melihat persyaratan
limitatif dalam Pasal 70 UU Arbitrase.
[1] Agnes M. Toar, Arbitrase di Indonesia, (Jakarta: Ghalia
Indonesia,1995) hal.41.
[2]Hendhy Timex,”Pelaksanaan dan Pembatalan Putusan Arbitrase”, Lex
Privatum, 2 (April, 2013), 83.
[3]Anugrah Prima Utama, “Pembatalan Putusan Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia Oleh Pengailan Negeri”, Unila On line, digilib.unila.ac.id,
2017, diakses tanggal 25 Oktober 2018.
[6]SusantiAdiNugraho, PenyelesaianSengketaArbitrasedanPenerapanHukumnya.
(Jakarta: PrendamediaGroub, 2016), 167
[7]Ibid,18
Komentar
Posting Komentar